Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Agus Gumiwang Kartasasmita
PolluxTier – Kebijakan relaksasi impor diberlakukan sebagai respons terhadap krisis rantai pasok pascapandemi. Tujuannya adalah memastikan ketersediaan barang dan menjaga stabilitas harga di dalam negeri. Pemerintah berharap dengan mempermudah impor produk jadi, kebutuhan masyarakat serta pelaku usaha tetap terpenuhi. Saat itu, banyak negara mengalami kekurangan pasokan dan menahan ekspor. Oleh karena itu, Indonesia memilih membuka keran impor sebagai solusi cepat.
Namun kenyataannya, kebijakan relaksasi impor justru memicu banjir produk asing di pasar lokal. Produk-produk impor tersebut memiliki harga jauh lebih murah karena didukung oleh biaya produksi rendah dan subsidi pemerintah asal. Akibatnya, industri nasional tertekan dan produk lokal kesulitan bersaing. Situasi ini menimbulkan ketimpangan di pasar dan menurunkan daya saing dalam negeri. Oleh sebab itu, efek negatif relaksasi impor mulai disorot oleh berbagai pihak.
Melihat dampak relaksasi impor terhadap industri nasional, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) segera memberikan tanggapan. Dalam pernyataan resminya, Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menegaskan bahwa kebijakan tersebut menurunkan utilisasi industri lokal. Bahkan, terjadi penurunan permintaan dan gelombang PHK di berbagai sektor. Hal ini tentu menjadi alarm serius bagi pemerintah untuk segera bertindak.
Selanjutnya, Febri menyebut beberapa sektor strategis terdampak paling parah. Di antaranya industri alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi. Semua sektor itu adalah industri padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja. Ketika permintaan lokal anjlok, pabrik terpaksa mengurangi jam kerja bahkan menutup operasionalnya. Oleh sebab itu, Kemenperin mendorong kebijakan pembatasan impor sebagai solusi jangka panjang.
“Baca juga: Pramono Anung Tegaskan Penataan Tiga Taman di Jakarta Selatan Tetap Berjalan“
Salah satu sektor industri yang terdampak besar akibat relaksasi impor adalah industri alas kaki. Produk luar negeri membanjiri pasar dengan harga sangat murah. Berdasarkan data Kemenperin, ekspor alas kaki Indonesia turun hingga 21,54% dalam waktu satu bulan. Bahkan ekspor ke Amerika Serikat pun merosot 21,51%. Penurunan ini menunjukkan tekanan dari dalam dan luar negeri.
Selain itu, sektor elektronik ikut terpuruk. Produk seperti televisi dan peralatan rumah tangga impor lebih diminati karena fitur unggul dan harga terjangkau. Kondisi ini membuat produsen lokal kalah bersaing. Demikian pula dengan industri tekstil dan pakaian jadi, yang banyak menyerap tenaga kerja. Ketika permintaan turun, operasional pabrik terhenti dan PHK pun tak terhindarkan. Akibatnya, ekonomi lokal ikut terguncang.
Sebagai respons terhadap tekanan industri lokal, pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan relaksasi impor. Pada akhir Juni 2025, Permendag Nomor 8 Tahun 2024 resmi dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 16 Tahun 2025. Revisi ini merupakan langkah strategis untuk menyeimbangkan kembali perdagangan dan menyelamatkan industri nasional yang terdampak cukup parah akibat membanjirnya produk luar negeri.
Melalui kebijakan baru ini, pembatasan impor diberlakukan secara selektif, terutama untuk produk seperti tekstil, pakaian jadi, dan aksesoris. Tujuannya adalah mengutamakan kapasitas produksi dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan pasar lokal. Dengan meningkatnya permintaan terhadap produk lokal, diharapkan utilisasi industri juga meningkat. Secara tidak langsung, kebijakan ini membuka peluang bagi sektor padat karya untuk kembali beroperasi penuh dan menyerap lebih banyak tenaga kerja yang sebelumnya dirumahkan.
Permendag Nomor 16 Tahun 2025 membawa pengaturan teknis baru yang lebih ketat terkait pengawasan impor. Pemerintah mewajibkan adanya persetujuan impor dan laporan teknis dari kementerian atau lembaga terkait sebelum barang jadi bisa masuk ke pasar domestik. Sistem ini dirancang untuk mencegah manipulasi dokumen dan celah regulasi yang sering dimanfaatkan importir nakal.
Selain itu, produk-produk yang tergolong sensitif seperti tekstil batik dan barang tekstil jadi dikenakan larangan dan pembatasan (lartas). Mekanisme ini diharapkan menciptakan persaingan yang adil antara produk lokal dan impor. Di sisi lain, penggunaan sistem digital dan pelaporan real-time juga mulai dioptimalkan agar transparansi dan efektivitas pengawasan dapat ditingkatkan. Langkah ini penting demi menjaga keberlangsungan industri nasional di tengah tekanan pasar global.
Relaksasi impor tidak hanya berdampak pada penurunan permintaan, tetapi juga melemahkan kepercayaan pelaku industri terhadap arah kebijakan pemerintah. Banyak pengusaha merasa ditinggalkan karena harus bersaing dengan produk asing yang harganya jauh lebih murah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha, terutama mereka yang telah berkomitmen pada produksi dalam negeri dan menyerap tenaga kerja lokal.
Data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) menunjukkan penurunan dari bulan ke bulan. Pada Juni 2025, IKI tercatat 51,84, lebih rendah dibanding Mei yang sebesar 52,11. Penurunan ini mencerminkan pesimisme dunia usaha. Namun demikian, hadirnya Permendag No. 16 Tahun 2025 mulai memberi sinyal positif. Dengan pembatasan impor berbasis data, pelaku industri merasa lebih dilindungi dan mulai percaya bahwa pemerintah berpihak pada kepentingan industri nasional dan keberlanjutan tenaga kerja.
Meski regulasi sudah disusun ulang, tantangan implementasi tetap besar. Salah satu kendala utama adalah lemahnya pengawasan di lapangan. Tanpa eksekusi yang konsisten, kebijakan pembatasan impor berpotensi gagal. Oknum pelaku usaha bisa saja memanipulasi dokumen atau memanfaatkan celah hukum untuk tetap memasukkan produk impor secara ilegal. Ini tentu merusak upaya pemulihan industri lokal yang telah dicanangkan.
Di sisi lain, pelaku usaha dalam negeri juga perlu ikut berbenah. Mereka tak bisa terus mengandalkan proteksi. Inovasi, peningkatan kualitas, dan efisiensi produksi harus menjadi fokus utama. Selain itu, kesadaran konsumen untuk mencintai produk lokal perlu diperkuat. Jika masyarakat lebih memilih produk dalam negeri, maka permintaan akan naik. Dengan begitu, industri nasional bisa berkembang secara mandiri tanpa terlalu bergantung pada intervensi kebijakan pemerintah.
Keberhasilan pembatasan impor tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak. Diperlukan sinergi antara pemerintah dan dunia usaha agar dampak positif kebijakan benar-benar dirasakan. Pemerintah harus memastikan bahwa aturan tidak hanya tegas di atas kertas, tetapi juga konsisten dalam pelaksanaannya di lapangan. Koordinasi antar kementerian seperti Kemenperin, Kemendag, dan Ditjen Bea Cukai perlu diperkuat untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan kebijakan yang membingungkan pelaku usaha.
Di sisi lain, pelaku usaha juga harus bersikap proaktif. Mereka harus menjadikan proteksi ini sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing. Bukan hanya dari segi harga, tetapi juga kualitas, distribusi, dan inovasi produk. Jika keduanya saling mendukung, maka iklim industri nasional akan menjadi lebih sehat, stabil, dan berkelanjutan. Sinergi ini merupakan pondasi kuat dalam membangun ekonomi nasional yang tangguh di tengah kompetisi global.
Kebijakan relaksasi impor mungkin lahir dari kebutuhan mendesak saat krisis global, namun dampaknya terhadap industri nasional sangat serius. Banyak sektor industri mengalami kontraksi, utilisasi turun, dan PHK tak terhindarkan. Menyadari hal itu, pemerintah melalui Permendag Nomor 16 Tahun 2025 mengubah arah kebijakan dengan melakukan pembatasan impor secara selektif. Langkah ini disambut baik oleh pelaku industri sebagai bentuk perlindungan terhadap produk lokal.
Namun, tantangan implementasi tetap ada. Dibutuhkan pengawasan yang ketat, sinergi lintas kementerian, serta peran aktif dari dunia usaha. Di sisi lain, masyarakat juga harus berperan dengan lebih mencintai produk buatan Indonesia. Jika semua elemen bergerak bersama, maka kebijakan ini tidak hanya akan menyelamatkan industri nasional, tetapi juga mengantarkan Indonesia menuju kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Produk lokal bukan sekadar pilihan alternatif, tetapi simbol kedaulatan industri bangsa.