
PolluxTier – Reformasi Kepolisian Republik Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat setelah peneliti senior CSIS, Dominique Nicky Fahrizal, menyampaikan bahwa arah perubahan di tubuh Polri tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan penuh dari dua tokoh kunci: Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam peluncuran buku “Dinamika dan Tantangan Pengawasan Internal Kepolisian”, Nicky menyebutkan bahwa transformasi Polri bukan sekadar soal teknis, melainkan sepenuhnya menyangkut kemauan politik di level tertinggi pemerintahan. Tanpa komitmen yang nyata dari Presiden dan Kapolri, upaya reformasi berisiko menjadi sekadar jargon, bukan tindakan. Ini menjadi refleksi mendalam, terutama karena publik masih meragukan sejauh mana keseriusan institusi penegak hukum dalam berbenah. Pertanyaan besar pun muncul: apakah era baru ini akan benar-benar melahirkan Polri yang profesional, transparan, dan dipercaya rakyat?
Dominique Nicky Fahrizal menyoroti bahwa momen reformasi Polri seharusnya sudah dimulai sejak tahun 2022. Sayangnya, hingga kini, belum terlihat pembaruan yang cukup signifikan dalam upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Menurutnya, dari rentang waktu 2022 hingga 2025, terlihat jelas bahwa Polri belum menunjukkan wajah baru yang benar-benar mencerminkan rasa aman dan ketertiban. Banyak kasus yang mencuat ke publik justru memperburuk citra, mulai dari penyalahgunaan wewenang hingga pelanggaran etik oleh aparat. Dalam konteks ini, kritik Nicky seolah mewakili perasaan publik yang mulai skeptis. Harapan akan institusi yang lebih bersih dan humanis seakan meredup. Ketika janji-janji reformasi tidak dibarengi dengan langkah nyata, maka yang tersisa hanyalah narasi kosong yang tak lagi menggugah kepercayaan.
Salah satu aspek penting yang ditekankan oleh Nicky adalah penguatan pengawasan internal Polri. Ia menyebut pengawasan internal sebagai benteng awal dalam menjaga akuntabilitas dan mencegah impunitas. Saat ini, mekanisme pengawasan di tubuh Polri dinilai belum optimal, bahkan sering kali tumpang tindih. Oleh karena itu, Nicky mengusulkan penggabungan dua unit utama, yaitu Divisi Propam dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) menjadi satu entitas tunggal yang lebih efisien. Menurutnya, dengan struktur yang ramping dan fokus yang jelas, maka proses pengawasan bisa berjalan lebih efektif dan cepat. Dalam sistem birokrasi yang kompleks, efektivitas sangat bergantung pada desain kelembagaan yang simpel namun tajam. Polri membutuhkan sistem yang tidak hanya bekerja, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dengan integritas tinggi.
Reformasi kepolisian tidak akan pernah berhasil jika hanya dilakukan secara internal. Nicky menegaskan bahwa keterbukaan dan partisipasi publik adalah elemen penting dalam proses pengawasan terhadap institusi sebesar Polri. Ia menyebut masyarakat harus diberikan akses terhadap proses pelaporan dan pengawasan, termasuk mengetahui mekanisme penanganan pelanggaran etik secara transparan. Ini bukan sekadar tuntutan, tetapi hak publik. Selama ini, jarak antara masyarakat dengan proses internal kepolisian kerap menjadi hambatan. Banyak laporan yang mandek, tidak jelas penyelesaiannya, bahkan ditutup-tutupi. Dengan melibatkan publik, Polri bisa membangun kembali fondasi kepercayaan yang telah lama rapuh. Keterlibatan ini juga menjadi tekanan moral agar proses reformasi tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi benar-benar meresap hingga ke akar.
“Simak Juga : Pemotongan Dana Reses DPR: Awal Babak Baru Pengawasan Publik”
Dalam pernyataannya, Nicky juga menyinggung bahwa reformasi Polri tidak akan efektif tanpa reformasi politik yang lebih luas. Ia menyebutkan bahwa tanpa perubahan dari hulu kekuasaan, maka seluruh upaya hanya akan bergerak di permukaan. Artinya, masalah utama bukan hanya pada lembaga kepolisian, tetapi juga pada sistem kekuasaan yang melingkupinya. Jika kepentingan politik masih mengintervensi proses hukum, maka independensi Polri akan terus dipertanyakan. Oleh karena itu, dibutuhkan ekosistem pemerintahan yang bersih, transparan, dan konsisten dalam menegakkan hukum. Presiden Prabowo dan jajaran kabinetnya harus memberi sinyal kuat bahwa hukum berdiri di atas segala kepentingan. Sebab jika reformasi hanya dipandang sebagai proyek citra, maka publik akan kembali mengalami “trust issue” yang selama ini sulit dipulihkan.
Publik kini menunggu janji Presiden Prabowo soal pembentukan Komite Reformasi Polri. Meski telah digaungkan sejak masa kampanye, realisasinya masih belum terlihat nyata. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengatakan bahwa pembentukan tim tersebut tinggal menunggu waktu. Namun, banyak yang mempertanyakan mengapa prosesnya berlangsung lambat. Harapan masyarakat sangat besar terhadap komite ini, terutama dalam menciptakan peta jalan reformasi yang konkret. Tapi jika pengumuman terus tertunda, publik bisa saja menganggapnya sekadar formalitas politik. Tanpa transparansi mengenai siapa yang tergabung, apa saja tugasnya, dan bagaimana implementasinya, maka Komite Reformasi Polri bisa kehilangan relevansi sebelum benar-benar bekerja. Saat ini, yang dibutuhkan bukan lagi janji, tetapi aksi nyata yang bisa mewujudkan kepolisian yang berwibawa dan terpercaya.