
PolluxTier – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat lonjakan signifikan pada total utang masyarakat yang berasal dari fintech lending dan layanan paylater. Pada September 2025, nilai outstanding pembiayaan fintech peer to peer lending (pinjol) mencapai Rp 90,99 triliun, naik 22,16 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 74,48 triliun. Pertumbuhan ini menunjukkan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap pinjol, meski juga mengindikasikan ketergantungan yang semakin tinggi pada pembiayaan digital. Secara bulanan, kenaikan nominal mencapai 3,86 persen dibanding Agustus 2025 yang sebesar Rp 87,61 triliun. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, menegaskan bahwa pertumbuhan ini perlu diimbangi dengan pengawasan risiko dan literasi keuangan yang lebih kuat agar tidak menimbulkan masalah sosial di kemudian hari.
Seiring meningkatnya nominal pinjaman, OJK juga mencatat adanya kenaikan tingkat kredit macet (TWP90) di sektor pinjol. Pada September 2025, rasio TWP90 mencapai 2,82 persen, naik dari 2,60 persen pada Agustus 2025. Lonjakan ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mulai kesulitan melakukan pembayaran tepat waktu, terutama akibat tekanan ekonomi dan konsumsi yang meningkat. Menurut Agusman, kondisi tersebut menjadi pengingat bagi para penyelenggara fintech untuk lebih selektif dalam memberikan pinjaman. Ia juga menegaskan bahwa OJK tidak akan segan menjatuhkan sanksi kepada penyedia jasa penagihan atau debt collector yang melanggar aturan. “Kami ingin memastikan bahwa industri pinjol tumbuh sehat dan tetap mengutamakan perlindungan konsumen,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
“Baca Juga : Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Tutup Usia”
Selain pinjol, tren buy now, pay later (BNPL) atau paylater juga mencatat pertumbuhan luar biasa. Pada September 2025, total nilai pinjaman melalui layanan paylater mencapai Rp 10,31 triliun, melonjak 88,65 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini mencerminkan perubahan gaya hidup masyarakat, terutama generasi muda, yang semakin bergantung pada kemudahan transaksi digital. Meski demikian, tingkat kredit macet (NPF gross) layanan paylater masih stabil di angka 2,92 persen, menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna masih mampu membayar kewajiban mereka tepat waktu. Namun, OJK mengingatkan bahwa penggunaan paylater perlu disertai disiplin finansial agar tidak menimbulkan beban utang jangka panjang yang bisa berujung pada masalah keuangan pribadi.
Jika digabungkan, total utang masyarakat Indonesia dari pinjol dan paylater mencapai Rp 101,3 triliun pada September 2025. Angka ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah industri keuangan digital di Tanah Air. Pertumbuhan yang pesat tersebut tidak hanya mencerminkan potensi ekonomi digital, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait manajemen risiko kredit. OJK menilai perlu ada sinergi antara regulator, penyelenggara fintech, dan masyarakat dalam menjaga stabilitas sektor keuangan. Pemerintah melalui OJK juga terus mendorong edukasi keuangan agar masyarakat lebih bijak memanfaatkan fasilitas kredit digital, terutama dalam mengukur kemampuan bayar sebelum berutang.
Di sisi lain, OJK melaporkan bahwa sektor lembaga pembiayaan, modal ventura, dan lembaga keuangan mikro (PVML) masih tumbuh positif. Piutang pembiayaan pada September 2025 meningkat 1,07 persen secara tahunan, mencapai Rp 507,14 triliun. Pertumbuhan ini didorong oleh kenaikan pembiayaan modal kerja sebesar 10,61 persen year on year. Profil risiko sektor ini pun masih terjaga, dengan rasio NPF gross di angka 2,47 persen dan NPF net sebesar 0,84 persen. Selain itu, gearing ratio perusahaan pembiayaan tercatat 2,17 kali, jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan OJK sebesar 10 kali. Data ini menunjukkan bahwa sektor pembiayaan konvensional tetap kokoh di tengah pesatnya ekspansi fintech digital.
“Simak Juga : Jenazah Antasari Azhar Akan Dishalatkan di Masjid Asy Syarif BSD”
OJK menegaskan bahwa pihaknya akan terus memperkuat pengawasan terhadap industri fintech lending dan paylater. Langkah ini dilakukan melalui peningkatan transparansi data, audit sistem, serta evaluasi kelayakan perusahaan. “Kami ingin memastikan bahwa pertumbuhan industri keuangan digital tidak menimbulkan risiko sistemik,” tegas Agusman. OJK juga membuka ruang dialog dengan penyelenggara fintech resmi agar bisa memperbaiki tata kelola bisnis. Masyarakat pun diimbau hanya menggunakan layanan pinjol yang terdaftar dan berizin di OJK untuk menghindari penipuan dan praktik bunga mencekik. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan literasi finansial yang terus digalakkan, OJK berharap keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen dapat terwujud di tengah arus digitalisasi keuangan yang semakin cepat.
Lonjakan utang dari pinjol dan paylater menggambarkan wajah baru ekonomi Indonesia yang semakin digital. Di satu sisi, inovasi ini membuka akses keuangan bagi jutaan masyarakat yang sebelumnya tak terlayani bank. Namun, di sisi lain, ketergantungan berlebihan terhadap utang konsumtif bisa menjadi bom waktu ekonomi rumah tangga. Para ahli menilai pentingnya keseimbangan antara kemudahan finansial dan kesadaran akan risiko utang. Masyarakat diimbau untuk menggunakan pembiayaan digital secara bijak hanya untuk kebutuhan produktif, bukan gaya hidup semata. Dengan pertumbuhan industri fintech yang pesat, kehadiran OJK sebagai pengawas menjadi kunci agar transformasi keuangan digital tidak meninggalkan korban di belakangnya.