PolluxTier – Wakil Menteri Hukum, Eddy OS Hiariej, menyebut bahwa di seluruh dunia tidak ada negara yang memakai istilah “perampasan aset” dalam instrumen hukumnya, melainkan “asset recovery” atau pemulihan aset. Ia menjelaskan bahwa istilah Indonesia terbentuk sendiri dan tidak sama maknanya dengan definisi internasional. Menurut dia, perampasan aset hanya bagian kecil dari proses pemulihan aset yang lebih luas. Penggunaan istilah yang tepat penting agar RUU pemerintah memiliki dasar hukum jelas dan tak salah tafsir di mata internasional.
Eddy menyebut bahwa pemulihan aset terdiri dari tujuh langkah yang sangat kompleks, bukan hanya mengambil aset semata. Ia menyampaikan bahwa pemerintah melakukan penelitian selama tiga tahun terhadap praktik asset recovery. Penelitian itu mengungkap bahwa prosesnya mencakup identifikasi aset, pembekuan, penahanan, penyitaan, penegakan hukum, repatriasi, dan distribusi. Karena itu, ia menekankan bahwa istilah “perampasan aset” tidak menggambarkan keseluruhan proses yang dimaksud. Lebih jauh lagi, penggunaan istilah yang keliru bisa melemahkan legitimasi hukum dari RUU Perampasan Aset.
“Baca Juga : Pemerintah Berencana Tambah 10 Persen Saham Freeport, Peluang Untung atau Risiko?”
Sebelum melanjutkan pembahasan RUU Perampasan Aset, Eddy mengatakan bahwa pemerintah harus menyelesaikan terlebih dahulu RUU KUHAP. Menurutnya, hukum acara pidana dan perdata perlu diperjelas supaya dasar legal perampasan aset atau asset recovery dapat dijalankan dengan baik. Dengan KUHAP yang kuat, aspek-aspek seperti bukti, prosedur peradilan, dan jaminan hukum bagi pihak terdampak akan lebih terjamin. Penyusunan RUU Perampasan Aset dianggap sebagai langkah lanjutan, tetapi tak dapat dilepaskan dari tata hukum yang sudah ada.
Eddy mengatakan pemerintah setuju kalau Baleg DPR mulai merintis RUU Perampas Aset tahun 2025. Namun, ia juga menekankan pentingnya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Partisipasi ini meliputi masukan dari akademisi, praktisi hukum, masyarakat sipil serta korban kejahatan aset supaya RUU tidak hanya menjadi produk politik tetapi juga bisa dipahami dan diterima secara luas. Dengan begitu, RUU yang dibangun memiliki kualitas, legitimasi, dan efektivitas yang lebih tinggi dalam praktek.
“Simak Juga : Ojol Gelar Demo Aksi 179: Tuntut Perbaikan Sistem Bagi Hasil”
Menurut Eddy, istilah “asset recovery” tidak sama dengan terjemahan “perampasan aset”. Asset recovery mencakup serangkaian prosedur hukum internasional dan nasional yang sistematis. Sedangkan perampasan aset cenderung dianggap hanya sebagai tindakan pengambilan aset tanpa memperhatikan proses hukum yang layak. Oleh karena itu, istilah yang digunakan di RUU harus mencerminkan prosedur yang lengkap—termasuk audit, penyelidikan, pengadilan, dan pemulihan aset untuk korban atau negara.
Implementasi RUU yang berkaitan dengan pemulihan aset menghadapi berbagai tantangan seperti harmonisasi antara hukum pidana, hukum perdata, dan hukum acara. Selain itu, ketersediaan sumber daya manusia yang memahami asset recovery, biaya pengadilan, dan mekanisme pengawasan menjadi hambatan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa prosedur tidak melanggar hak asasi manusia dan prinsip keadilan proses hukum. Eddy menyatakan bahwa walau sulit, mereka tetap berkomitmen untuk merintis RUU tersebut secara serius dan memperhatikan semua aspek agar tidak menimbulkan polemik baru.