PolluxTier – Kepergian Christian Horner dari Red Bull Racing pada Juli lalu menandai akhir sebuah era panjang di Formula 1. Selama lebih dari dua dekade, pria berusia 51 tahun itu menjadi arsitek kejayaan tim “Banteng Merah”, menghadirkan enam gelar konstruktor dan delapan mahkota juara dunia pembalap. Namun, di balik pencapaian gemilang tersebut, muncul ketidakpastian internal, termasuk masa depan Max Verstappen, yang akhirnya mengantar Horner keluar dari tim yang membesarkan namanya. Bagi Horner, perpisahan ini bukan sekadar akhir karier, melainkan titik hening sebelum langkah berikutnya. Dunia F1 mengenalnya sebagai figur ambisius dan visioner. Maka wajar jika sejak kepergiannya, rumor kepulangan Horner ke paddock terus berembus, seiring keyakinan bahwa kisahnya di Formula 1 belum benar-benar selesai.
Hasrat Kembali ke Paddock Formula 1
Sejak meninggalkan Red Bull, Horner disebut tak pernah benar-benar menjauh dari Formula 1. Ia dikabarkan ingin kembali, entah sebagai kepala tim atau dalam posisi strategis lain di level manajemen tertinggi. Hasrat ini lahir dari pengalamannya membangun tim dari nol hingga menjadi kekuatan dominan. Horner diyakini masih menyimpan ambisi untuk membuktikan dirinya di lingkungan baru. Beberapa tim sempat dikaitkan dengannya, memperlihatkan betapa besar nilai yang masih melekat pada namanya. Bagi Horner, kembali ke F1 bukan sekadar nostalgia, melainkan tantangan baru. Ia dikenal sebagai sosok yang menikmati tekanan dan perubahan. Di tengah transformasi regulasi dan peta kekuatan F1, Horner tampaknya melihat peluang untuk kembali memberi dampak nyata, sekaligus menulis bab baru dalam karier panjangnya.
“Baca Juga : Carragher Sebut MU vs Bournemouth 4-4 sebagai Laga Terbaik Premier League Musim Ini”
Alpine Muncul sebagai Kandidat Paling Serius
Laporan media Belanda, De Telegraaf, menyebut Alpine kini menjadi kandidat terkuat tujuan baru Horner. Tim asal Prancis itu dikabarkan telah memulai pembicaraan awal dengan Horner untuk musim 2026. Ketertarikan ini muncul di tengah fase transisi Alpine yang tengah mencari arah baru setelah performa yang mengecewakan. Bagi Alpine, nama Horner membawa kredibilitas, pengalaman, dan visi jangka panjang. Sementara bagi Horner, Alpine menawarkan kanvas kosong untuk dibentuk ulang. Kombinasi ini membuat rumor tersebut terasa masuk akal. Pembicaraan ini juga bertepatan dengan berakhirnya masa gardening leave Horner pada musim semi tahun depan, membuka jalan secara legal baginya untuk kembali aktif di F1. Meski belum ada konfirmasi resmi, sinyal yang beredar cukup kuat untuk menarik perhatian paddock.
Gagal ke Aston Martin, Arah Berubah
Sebelumnya, Horner sempat disebut mengikuti jejak Adrian Newey menuju Aston Martin. Namun rencana tersebut kandas setelah Aston Martin memastikan Newey akan menjabat sebagai kepala tim mulai 2026. Situasi ini membuat Horner mengalihkan pandangannya. Momentum ini justru membuka peluang baru bersama Alpine. Berbeda dengan Aston Martin yang sudah memiliki struktur jelas, Alpine masih mencari figur sentral untuk memimpin transformasi. Kondisi ini memberi Horner ruang lebih besar untuk berperan. Perubahan arah ini menunjukkan fleksibilitas Horner dalam membaca peluang. Ia tak sekadar mencari kursi, tetapi proyek yang menantang. Alpine, dengan segala problem dan potensi yang dimiliki, tampak menawarkan tantangan yang sejalan dengan karakter Horner sebagai pembangun tim jangka panjang.
Peran Strategis Masih Jadi Tanda Tanya
Meski pembicaraan dengan Alpine disebut telah dimulai, peran Horner masih belum pasti. Ada spekulasi bahwa ia tak hanya datang sebagai eksekutif, tetapi juga sebagai co-shareholder, mirip peran Toto Wolff di Mercedes. Skema ini akan memberinya pengaruh strategis sekaligus kepentingan jangka panjang. Namun, belum jelas apakah Horner juga akan merangkap sebagai kepala tim. Ketidakpastian ini justru menambah intrik. Alpine kemungkinan tengah menimbang model kepemimpinan yang paling tepat. Bagi Horner, posisi strategis mungkin lebih menarik dibanding sekadar jabatan operasional. Ia dikenal piawai dalam membangun struktur dan budaya tim. Jika benar terlibat sebagai pemegang saham, kehadirannya akan memberi sinyal komitmen jangka panjang, bukan sekadar solusi sementara.
“Simak Juga : MU Geram ke Federasi Maroko, Absennya Mazraoui Picu Perubahan Besar di Old Trafford”
Peluang Akuisisi Saham Alpine
Faktor lain yang memperkuat rumor ini adalah situasi kepemilikan Alpine. Sejak 2023, 24 persen saham tim dimiliki konsorsium Otro Capital. Namun, laporan terbaru menyebut konsorsium tersebut tertarik melepas kepemilikannya. Horner dan sekelompok investor dikabarkan sedang mempertimbangkan peluang akuisisi ini. Jika terwujud, langkah tersebut akan mengubah posisi Horner dari sekadar eksekutif menjadi pemilik bagian tim. Alpine sendiri baru saja menutup musim terburuk mereka, finis di dasar klasemen konstruktor. Kondisi ini membuat perubahan struktural terasa mendesak. Kehadiran Horner, baik sebagai pemimpin maupun investor, bisa menjadi titik balik. Meski Horner belum memberi komentar detail, ia tak menampik adanya pembicaraan, menandakan pintu itu memang terbuka.
Tantangan Besar Menanti di Alpine
Jika akhirnya bergabung, Horner akan menghadapi tantangan berat. Alpine baru saja melewati musim yang sulit, dengan Pierre Gasly dan Franco Colapinto terpuruk di papan bawah klasemen pembalap. Namun justru di situ daya tariknya. Horner dikenal menikmati proyek pemulihan. Ia pernah membawa Red Bull dari tim medioker menjadi penguasa grid. Pengalaman itu menjadi modal utama. Alpine membutuhkan arah, stabilitas, dan kepemimpinan tegas. Horner bisa menawarkan ketiganya. Di tengah dinamika baru Formula 1, kisah kepulangannya berpotensi menjadi salah satu cerita paling menarik. Bagi paddock, ini bukan sekadar soal transfer figur penting, melainkan tentang apakah Horner mampu sekali lagi mengubah nasib sebuah tim.