PolluxTier – Pada periode Januari hingga September 2024, sebanyak 54.400 pekerja kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di Indonesia. Meski demikian, hanya sekitar 40.000 pekerja yang menerima manfaat dari program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) atau tunjangan pengangguran yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesenjangan antara jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan dengan yang mendapatkan bantuan tunjangan pengangguran.
Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, mengungkapkan bahwa sebagian besar pekerja yang ter-PHK pada periode tersebut sudah menerima manfaat JKP. Namun, ia juga mengakui bahwa masih ada kesenjangan yang signifikan. “Masih ada perbedaan antara jumlah pekerja yang ter-PHK dengan penerima manfaat JKP. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua pekerja yang mengalami PHK memenuhi syarat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” kata Oni.
“Baca juga: Apple Janji Manis Investasi Rp 300 M Padahal Profit Rp 30 T di RI”
Penyebab Kesenjangan dalam Pemberian Tunjangan Pengangguran untuk Pekerja PHK
Ada beberapa alasan mengapa banyak pekerja kena PHK tidak dapat mengakses tunjangan pengangguran. Salah satu faktor utama adalah kurangnya kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya ke program BPJS Ketenagakerjaan. Tanpa pendaftaran yang sah, pekerja tidak bisa menjadi peserta JKP dan tidak dapat menerima manfaat dari program tersebut. Oleh karena itu, BPJS Ketenagakerjaan terus mendorong pemberi kerja agar lebih patuh dalam mendaftarkan seluruh pekerjanya.
Per September 2024, peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan tercatat sebesar 40,15 juta, namun jumlah ini turun sebanyak 93.000 peserta dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan kepesertaan ini, menurut Oni, disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil, yang berdampak langsung pada perekonomian nasional dan ketenagakerjaan Indonesia.
Fenomena ini mengundang perhatian Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar. Timboel menyoroti rendahnya kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerja mereka sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sebagai contoh, hingga akhir 2023, dari total tenaga kerja Indonesia yang mencapai 142,18 juta, hanya sekitar 41,56 juta pekerja yang terdaftar dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Timboel meminta agar Kemenaker memperkuat pengawasan dan penegakan hukum melalui penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013. Regulasi ini menetapkan sanksi bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS Ketenagakerjaan, di mana perusahaan tersebut tidak akan mendapatkan akses terhadap layanan publik.
“Simak juga: Hewan Pembawa Sial Jika Dipelihara, Hewan Apa Saja?”
Timboel menambahkan bahwa, meskipun regulasi sudah lengkap, aspek pengawasan dan penegakan hukum perlu ditingkatkan. Regulasi seperti PP Nomor 44 Tahun 2015 untuk JKK dan JKM, PP Nomor 45 Tahun 2015 untuk Jaminan Pensiun (JP), dan PP Nomor 37 Tahun 2021 untuk JKP, sudah ada. Namun, peran pengawasan masih perlu diperkuat, terutama dalam mengimplementasikan PP 86 Tahun 2013 dan Pasal 55 UU BPJS yang mengatur sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak menyetor iuran BPJS.
Timboel berharap, dengan adanya Kabinet Prabowo-Gibran yang baru, Kemenaker dapat mengoptimalkan peran pengawas ketenagakerjaan. Hingga saat ini, pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia dinilai belum berjalan dengan baik dan masih kurang dalam kualitas, sehingga banyak hak pekerja yang terabaikan.
Pentingnya Jaminan Sosial bagi Perlindungan Pekerja di Indonesia
Dengan jumlah pekerja yang mengalami PHK mencapai angka signifikan, keberadaan jaminan sosial yang merata dan adil menjadi sangat penting. JKP bukan hanya soal memberikan tunjangan saat pekerja kehilangan pekerjaan, namun juga mencakup perlindungan dan stabilitas bagi keluarga pekerja terdampak. Pemerintah dan perusahaan harus memastikan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi
seluruh pekerja agar mereka memperoleh hak yang layak sesuai regulasi yang berlaku.
Di tengah kondisi ekonomi global yang kurang stabil, perlindungan ketenagakerjaan yang kuat adalah
langkah vital untuk memastikan bahwa ketidakpastian ekonomi tidak semakin memperburuk
kesejahteraan pekerja di Indonesia.