PolluxTier – Banyak perempuan masih bingung soal frekuensi mengganti pembalut saat menstruasi. Padahal hal ini sangat penting untuk kesehatan. Ketidaktahuan bisa menyebabkan berbagai masalah serius. Dari infeksi ringan hingga komplikasi saluran reproduksi. Para dokter kandungan menekankan bahwa menjaga kebersihan adalah kunci utama. Tidak hanya nyaman, tetapi juga mencegah penyakit. Kesalahan dalam mengganti pembalut sering kali dianggap sepele. Namun dampaknya bisa cukup merugikan dalam jangka panjang. Karena itu edukasi seputar haid harus terus digencarkan. Khususnya di kalangan remaja dan perempuan muda. Dengan informasi tepat, risiko kesehatan bisa ditekan secara signifikan.
Dokter kandungan umumnya merekomendasikan mengganti pembalut setiap empat jam. Ini berlaku meski darah haid yang keluar tidak banyak. Karena pembalut yang lembap bisa menjadi sarang bakteri. Bakteri mudah berkembang dalam lingkungan hangat dan basah. Akibatnya, risiko infeksi meningkat drastis. Beberapa perempuan menunda mengganti pembalut karena alasan kenyamanan. Namun hal ini sangat tidak disarankan. Semakin lama pembalut digunakan, semakin tinggi potensi iritasi. Kulit di sekitar vagina sangat sensitif dan mudah terluka. Oleh sebab itu, empat jam sekali adalah standar yang dianjurkan. Jadwal ini juga membantu menghindari bau tidak sedap saat haid.
“Baca Juga : PNM Bangun Ruang Pintar, Dorong Akses Pendidikan Merata”
Pada hari-hari pertama menstruasi, aliran darah biasanya lebih banyak. Saat itulah pembalut perlu diganti lebih sering. Tidak cukup hanya empat jam, bisa dua sampai tiga jam sekali. Jika tidak, darah akan meluber dan membuat area lembap terus menerus. Kondisi ini rentan menimbulkan infeksi jamur atau bakteri. Selain itu, yang penuh bisa bocor dan menyebabkan rasa tidak nyaman. Banyak perempuan bekerja atau sekolah, lalu lupa mengganti pembalut. Maka, disarankan membawa pembalut cadangan ke mana pun pergi. Dengan persiapan ini, frekuensi penggantian tetap bisa dijaga. Menjaga kebersihan harus menjadi prioritas utama selama haid.
Jarang mengganti pembalut bisa menyebabkan beragam masalah kesehatan. Salah satu yang umum terjadi adalah vaginitis. Kondisi ini ditandai rasa gatal, perih, dan keputihan berlebih. Ada juga risiko infeksi saluran kemih karena bakteri menyebar ke uretra. Dalam kasus berat, bisa muncul ruam dan luka di kulit. Bahkan, beberapa perempuan mengalami bau menyengat akibat bakteri menumpuk. Selain itu, ada risiko terjadinya toxic shock syndrome (TSS). Meski jarang, TSS bisa berakibat fatal jika tidak ditangani. Oleh karena itu, menjaga ritme pergantian sangat penting. Jangan tunggu sampai muncul gejala baru bertindak. Pencegahan jauh lebih baik daripada pengobatan.
“Simak juga: Drama Naturalisasi: Ragnar Kluivert Ungkap Kekecewaannya”
Sebagian perempuan memilih menggunakan pembalut kain yang bisa dicuci ulang. Pilihan ini ramah lingkungan dan hemat biaya. Namun, kebersihannya harus lebih diperhatikan. Setelah digunakan, kain harus segera dicuci bersih. Gunakan air hangat dan sabun antibakteri agar aman. Jangan biarkan pembalut kain direndam terlalu lama. Pengeringan juga harus maksimal di bawah sinar matahari langsung. Jika kain masih lembap, bakteri bisa tumbuh. Maka dari itu, frekuensi penggantian tetap sama dengan pembalut sekali pakai. Yaitu setiap empat jam atau lebih sering bila aliran deras. Kebersihan pembalut kain menjadi tanggung jawab pribadi yang tidak boleh diabaikan.
Beberapa perempuan memiliki kulit sensitif terhadap bahan tertentu. Misalnya pada pembalut dengan parfum atau bahan sintetis. Hal ini bisa menyebabkan iritasi ringan hingga parah. Gejalanya meliputi kemerahan, rasa panas, hingga luka kecil. Jika itu terjadi, segera hentikan penggunaan pembalut tersebut. Beralihlah ke pembalut berbahan alami dan tanpa pewangi. Konsultasikan dengan dokter bila iritasi tak kunjung hilang. Dalam beberapa kasus, alergi bisa memicu infeksi sekunder. Oleh karena itu, penting mengenali reaksi tubuh terhadap produk tertentu. Jangan anggap sepele rasa gatal atau tidak nyaman. Itu bisa jadi pertanda tubuh menolak bahan tertentu pada pembalut.
Di banyak wilayah, edukasi soal haid masih kurang. Banyak remaja tidak tahu cara mengganti pembalut dengan benar. Apalagi bicara soal frekuensinya yang ideal. Mereka malu bertanya atau tidak mendapat informasi dari orang tua. Sekolah pun sering kali belum memasukkan ini ke dalam kurikulum. Akibatnya, kesalahan persepsi terus berulang dari generasi ke generasi. Padahal, edukasi sejak dini sangat penting untuk kesehatan reproduksi. Kampanye publik perlu digalakkan untuk meningkatkan kesadaran. Media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi tepat. Dengan begitu, perempuan lebih siap menghadapi menstruasi secara sehat dan bersih.
Orang tua, khususnya ibu, memegang peran penting dalam edukasi haid. Mereka harus memberi contoh dan informasi yang benar. Bukan hanya soal kapan mengganti pembalut, tapi juga cara pembuangan. Tenaga medis pun diharapkan aktif dalam sosialisasi. Misalnya melalui klinik, puskesmas, atau program penyuluhan di sekolah. Materi tentang kesehatan menstruasi sebaiknya disampaikan dengan bahasa sederhana. Tujuannya agar mudah dipahami semua kalangan usia. Jika perlu, buat buku panduan atau modul khusus. Kesadaran bersama akan menciptakan budaya menstruasi yang sehat. Tidak ada lagi perempuan yang bingung saat haid pertama. Semua merasa siap dan tidak malu merawat tubuh sendiri.