PolluxTier – Selama puluhan tahun, surat utang pemerintah Amerika Serikat (US Treasury) telah dianggap sebagai simbol stabilitas keuangan global. Obligasi ini bukan sekadar instrumen investasi biasa—ia adalah tempat perlindungan, pelarian aman (safe haven) ketika badai menghantam pasar. Tapi hari ini, anggapan itu mulai terkikis. Apa yang terjadi ketika pilar stabilitas itu mulai goyah?
US Treasury telah lama menikmati status istimewa. Likuiditas tinggi, keamanan hukum-politik, serta reputasi kepercayaan global membuatnya seolah-olah setara dengan uang tunai. Tak heran jika investor rela menerima imbal hasil yang lebih rendah demi kenyamanan tersebut—itulah yang disebut dengan convenience yield.
Namun, situasi berubah. Ketika pasar mulai goyah bukan karena krisis keuangan, melainkan karena ketidakpastian kebijakan pemerintah sendiri, maka keistimewaan itu mulai kehilangan maknanya.
“baca juga: Israel Bersiap Serang, Menhan Perintah IDF Rencana Aksi ke Iran“
Convenience yield mencerminkan premi kenyamanan yang diberikan investor atas kepemilikan instrumen yang aman, likuid, dan diterima secara luas. Dalam konteks US Treasury, ia adalah alasan mengapa investor tetap membeli obligasi pemerintah AS meski return-nya lebih rendah dibanding surat utang korporasi.
Contohnya jelas: jika obligasi pemerintah memberikan 3% sedangkan obligasi korporasi yang sama-sama aman menawarkan 3,5%, mengapa investor tetap memilih Treasury? Jawabannya: karena likuiditas, kestabilan, dan kepercayaan terhadap pemerintah AS.
Namun sekarang, premi kenyamanan itu mulai menghilang.
Penelitian terbaru dari ekonom NYU, Viral Acharya dan Toomas Laarits, menyajikan fakta yang mengkhawatirkan. Mereka menyebutkan bahwa “convenience yield adalah institusi Amerika yang dibantai pada 2025.” Pernyataan itu tidak main-main. Kejutan perang tarif yang diumumkan awal April 2025 menjadi titik balik.
Volatilitas naik tajam. Kovarians antara saham dan obligasi meningkat, sinyal bahwa fungsi lindung nilai dari obligasi jangka panjang mulai rusak. Dan ketika investor tidak lagi melihat Treasury sebagai pelindung saat krisis, artinya kepercayaan telah goyah.
Penambahan pasokan utang jangka panjang oleh pemerintah AS—sebesar 5% dari PDB—mampu menurunkan convenience yield hingga 0,94 poin persentase dalam tenor 10 tahun. Ini bukan angka kecil. Artinya, semakin banyak obligasi jangka panjang yang dilempar ke pasar, semakin rendah kenyamanan yang dirasakan investor untuk memegangnya.
Sementara itu, obligasi jangka pendek seperti T-bills masih stabil dan tetap memiliki premi kenyamanan. Kenapa? Karena meski situasi tidak menentu, instrumen jangka pendek masih bisa dipercaya untuk menjaga nilai dalam waktu singkat.
Tak hanya pasar domestik yang terguncang, pemegang asing pun mulai menunjukkan tanda-tanda tidak percaya. Investor institusi dari China dan Jepang—dua pemegang terbesar US Treasury—memutuskan untuk mulai menjual. Ketidakpastian kebijakan Presiden Donald Trump, lonjakan defisit, serta arah kebijakan fiskal yang tak menentu mendorong aksi jual besar-besaran.
Muncullah apa yang disebut sebagai bond vigilante—investor yang menghukum pemerintah dengan menjual surat utangnya. Tindakan mereka bukan sekadar reaksi, tapi peringatan bahwa pasar tidak lagi bisa menoleransi kebijakan fiskal yang sembrono.
Kenaikan yield obligasi AS berdampak langsung ke seluruh dunia. Suku bunga global terdorong naik, tekanan terhadap pasar negara berkembang meningkat, dan volatilitas pasar saham bertambah tinggi. Dunia menghadapi risiko yang lebih besar bukan karena krisis ekonomi tradisional, tetapi karena erosi kepercayaan terhadap institusi yang selama ini dianggap paling kokoh: pemerintah Amerika Serikat.
Jika convenience yield pada obligasi jangka panjang benar-benar menghilang, artinya era “uang aman” telah berakhir. Dunia membutuhkan titik tumpu baru, dan pasar keuangan tidak akan menunggu lama untuk mencarinya. Apakah ini saatnya T-bills, emas, atau bahkan kripto mengambil alih peran itu?
Yang jelas, ini adalah panggilan untuk membangun kembali kepercayaan. Karena tanpa kepercayaan, bahkan obligasi paling suci pun hanya sekadar kertas utang biasa.