
PolluxTier – Banyak orang percaya bahwa semakin lama pacaran, semakin kuat pula pondasi untuk Menikah. Namun, Psikolog Klinis Ayu Mas Yoca Hapsari, M.Psi., menegaskan bahwa lamanya hubungan tidak selalu berbanding lurus dengan kesiapan untuk menikah. Menurutnya, ada pasangan yang terjebak dalam hubungan panjang tanpa arah yang jelas. “Keputusan untuk menikah sebaiknya tidak diambil hanya karena lamanya waktu menjalin hubungan,” ujarnya kepada PolluxTier.com pada Selasa (4/11/2025). Dalam banyak kasus, hubungan yang berjalan bertahun-tahun justru bisa stagnan. Hubungan yang tidak lagi menumbuhkan dua individu di dalamnya bukanlah tanda kedewasaan emosional, melainkan kenyamanan semu. Di sinilah pentingnya refleksi: apakah hubungan dijalani karena cinta, atau hanya karena takut kehilangan seseorang yang sudah terlalu lama ada?
Salah satu tanda paling jelas bahwa hubungan belum siap naik ke tahap pernikahan adalah rasa stagnan. Menurut Ayu, kondisi ini terjadi ketika salah satu atau kedua pihak merasa tidak berkembang. “Hubungan dijalani hanya karena terbiasa, bukan karena masih ingin tumbuh bersama,” jelasnya. Ciri-cirinya bisa dilihat dari berkurangnya antusiasme, hilangnya tujuan bersama, dan tidak adanya upaya memperbaiki masalah. Lama-kelamaan, hubungan seperti ini terasa hambar. Tak ada lagi semangat membangun masa depan, hanya rutinitas tanpa arah. Dalam jangka panjang, stagnasi ini dapat memicu kejenuhan dan berakhir pada keretakan. Hubungan seharusnya menjadi ruang untuk bertumbuh, bukan tempat untuk berhenti berproses. Ketika cinta tidak lagi mendorong dua orang menjadi lebih baik, mungkin sudah saatnya berhenti dan mengevaluasi ulang arah hubungan.
“Baca Juga : Robot IRON: Wujud Baru Humanoid Feminin dari Xpeng yang Menyerupai Manusia”
Banyak pasangan mengira hubungan tanpa pertengkaran berarti hubungan yang ideal. Padahal, kata Ayu, cara menghadapi konflik justru menjadi indikator kedewasaan dalam hubungan. “Kalau ada perbedaan, tapi pasangan malah lari dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, itu bukan tanda sehat,” ujarnya. Hubungan yang selalu menghindari konflik sering kali menyimpan emosi yang terpendam. Masalah yang dibiarkan tanpa penyelesaian bisa menumpuk dan menjadi bom waktu di masa depan. Ketika pasangan tidak terbiasa berdialog secara terbuka, mereka berisiko membawa pola yang sama ke dalam pernikahan. Hubungan tanpa komunikasi jujur hanyalah harmoni semu. Justru dari perbedaan dan pertengkaran yang diselesaikan dengan sehat, sebuah hubungan belajar untuk menjadi lebih kuat dan dewasa.
Cinta sejati bukan tentang siapa yang paling banyak memberi, tetapi tentang keseimbangan. Namun, hubungan tidak akan sehat jika hanya satu pihak yang terus beradaptasi. “Salah satu pihak menyesuaikan diri secara berlebihan agar hubungan tetap berjalan baik-baik saja, sementara pasangannya bersikap semena-mena,” ujar Ayu. Ketimpangan ini lambat laun bisa menimbulkan kelelahan emosional dan rasa tidak dihargai. Dalam hubungan yang sehat, kompromi harus datang dari dua arah. Meskipun tidak selalu bisa seimbang 50:50, tetap harus ada upaya saling memahami. Jika hanya satu orang yang berjuang mempertahankan, itu bukan cinta yang sehat, melainkan bentuk ketergantungan emosional. Hubungan yang ideal seharusnya menjadi tempat aman bagi kedua pihak untuk tumbuh, bukan ruang di mana satu orang terus kehilangan dirinya demi menjaga keutuhan semu.
Pernikahan bukan sekadar melanjutkan hubungan, tetapi menyatukan visi dan rencana hidup. Karena itu, hubungan tanpa tujuan masa depan adalah tanda serius belum siap menikah. Ayu menekankan bahwa pasangan yang sehat memiliki arah yang sama, meski mungkin berbeda cara untuk mencapainya. “Hubungan yang matang ditandai dengan tujuan yang jelas, seperti rencana finansial, karier, atau bagaimana menjalani kehidupan bersama,” katanya. Jika pasangan tidak pernah membicarakan masa depan, bahkan enggan membahas topik penting seperti pernikahan, itu pertanda ada keraguan. Hubungan yang hanya berjalan tanpa visi ibarat kapal tanpa kompas berlayar entah ke mana. Cinta butuh arah, dan tanpa perencanaan, kebersamaan bisa berubah menjadi kebiasaan yang kosong.
Banyak orang tetap bertahan dalam hubungan panjang karena takut memulai dari awal. “Ada rasa takut kehilangan, takut sendirian, atau merasa sudah terlalu jauh untuk mundur,” jelas Ayu. Padahal, bertahan bukan selalu pilihan yang tepat jika hubungan tak lagi sehat. Semakin lama seseorang menunda keputusan, semakin sulit pula keluar dari lingkaran yang stagnan. Dalam banyak kasus, orang justru menikah bukan karena yakin, tapi karena merasa sudah terlalu lama bersama. Ini bisa menjadi awal dari pernikahan yang rapuh. Ayu mengingatkan bahwa keberanian untuk mengakhiri hubungan yang tidak sehat adalah bentuk kedewasaan emosional. Cinta sejati tidak diukur dari lamanya waktu, tetapi dari seberapa sehat hubungan itu membuat seseorang bertumbuh.
Menikah seharusnya menjadi perjalanan dua orang yang sama-sama siap, bukan pelarian dari rasa takut atau kebiasaan lama. Dalam pandangan Ayu, kesiapan menikah lahir dari hubungan yang saling mendukung, terbuka, dan punya arah yang jelas. Jika hubungan hanya dipertahankan karena waktu atau rasa nyaman semu, pernikahan bisa menjadi jebakan emosional. Cinta yang dewasa justru memberi ruang bagi kedua orang untuk terus berkembang, bahkan jika itu berarti harus berpisah demi kebaikan masing-masing. Menurut Ayu, keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri adalah langkah pertama menuju hubungan yang lebih sehat. Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang seberapa lama bertahan, tetapi seberapa tulus berani memilih kebahagiaan yang sebenarnya.