
PolluxTier – Konten Kekerasan Anak , Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta mengguncang banyak keluarga karena dilakukan oleh seorang remaja yang disebut sering mengonsumsi konten kekerasan di internet. Publik pun bertanya-tanya bagaimana paparan semacam itu bisa memengaruhi perkembangan anak. Insiden tersebut menjadi pengingat bahwa dunia digital kini hadir sangat dekat dengan kehidupan remaja, bahkan dapat masuk tanpa filter ke dalam cara mereka memahami dunia. Banyak orangtua merasa takut dan bingung, terutama ketika anak menghabiskan waktu lebih banyak di depan layar dibanding berinteraksi langsung. Situasi ini membuat peran pengawasan digital semakin penting. Dari kejadian ini, masyarakat disadarkan bahwa perilaku agresif tidak terbentuk dalam semalam, tetapi bisa tumbuh dari pola konsumsi media yang tidak terpantau dan interaksi lingkungan yang keliru.
Menurut psikolog Grace Eugenia Sameve, anak belajar terutama melalui proses meniru. Ketika mereka melihat adegan kekerasan berulang kali, baik dari internet maupun lingkungan sekitar, otak mulai menyerapnya sebagai bentuk respons yang mungkin dilakukan. Remaja cenderung mencoba hal-hal baru tanpa memilah risiko, sehingga konten kekerasan dapat memberi contoh perilaku yang tampak “normal”. Ditambah lagi, dunia digital menyajikan konten yang sangat cepat dan intens. Transisi dari satu video ke video lain membuat anak tidak memiliki waktu memproses dampaknya. Situasi semakin berisiko ketika mereka tidak memiliki contoh perilaku positif sebagai pembanding. Dalam kondisi seperti ini, perilaku agresif lebih mudah tumbuh, terutama pada remaja yang sedang mencari identitas diri dan cara berekspresi.
Grace menekankan bahwa risiko meningkat ketika anak terpapar kekerasan dari dua arah: lingkungan sekitar dan internet. Lingkungan yang tidak suportif, seperti pengalaman bullying atau konflik keluarga, membuat anak lebih rentan menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Ketika hal tersebut diperkuat oleh konten digital yang brutal, persepsi mereka semakin terdistorsi. Tanpa bimbingan orang dewasa, remaja cenderung meniru apa yang terlihat paling dominan. Mereka mungkin tidak memiliki kemampuan untuk mengkritisi atau memilah perilaku mana yang sehat. Kondisi ini menunjukkan perlunya contoh nyata dari orangtua, guru, atau figur signifikan lainnya. Ketika anak melihat ada cara penyelesaian konflik yang lebih baik, mereka lebih mudah memahami bahwa kekerasan bukan jawaban.
Pola konsumsi media memainkan peran besar dalam membentuk respons sosial anak. Konten kekerasan yang ditonton berulang-ulang dapat mempersempit cara mereka membaca situasi. Remaja mungkin mulai melihat konflik sebagai ruang untuk menunjukkan dominasi, bukan kesempatan berdialog. Algoritma media sosial pun cenderung memperkuat apa yang sering mereka tonton. Jika anak sering menonton kekerasan, platform secara otomatis merekomendasikan konten serupa. Tanpa pengawasan, remaja dapat terjebak dalam lingkaran konsumsi yang semakin ekstrem. Di sinilah pentingnya edukasi digital yang tidak hanya fokus pada bahaya, tetapi juga mengajarkan bagaimana mengelola informasi. Ketika anak mampu memahami konteks, mereka dapat menahan diri dan merespons situasi dengan lebih dewasa.
Penurunan empati adalah salah satu dampak paling serius dari paparan konten kekerasan. Grace menjelaskan bahwa remaja yang terlalu sering menyaksikan kekerasan memiliki kecenderungan kurang peduli terhadap orang lain. Mereka bisa menjadi kurang sensitif terhadap penderitaan atau kesulitan orang lain. Dalam jangka panjang, kondisi ini membuat mereka sulit membangun hubungan sosial yang sehat. Empati memerlukan latihan, dan ketika remaja lebih sering melihat kekerasan dibandingkan kebaikan, area otak yang memproses empati menjadi kurang aktif. Penurunan kemampuan membaca emosi dan konsekuensi tindakan membuat remaja lebih rentan mengambil keputusan berbahaya. Dampak ini tidak terjadi secara instan, tetapi bertahap seiring waktu, mirip gelombang kecil yang pelan-pelan merusak pantai.
Di tengah arus konten digital yang deras, orangtua memegang peran penting dalam menjaga ruang aman bagi perkembangan anak. Mereka perlu hadir bukan hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai tempat anak bercerita dan bertanya. Pendekatan yang hangat membantu remaja merasa dihargai, sehingga mereka berani berbagi pengalaman sebelum masalah membesar. Orangtua juga perlu membangun kebiasaan menonton bersama, memberi penjelasan ketika anak melihat hal yang sulit dipahami. Selain itu, batasan layar dan edukasi digital perlu dibangun dengan dialog, bukan paksaan. Ketika hubungan orangtua dan anak terjalin kuat, konten buruk dari luar tidak akan mudah menggerus empati atau perilaku mereka. Lingkungan yang penuh kasih memberi anak fondasi agar tetap kuat menghadapi dunia digital.
Mengembalikan empati pada remaja bukan hanya tugas keluarga, tetapi juga masyarakat. Sekolah perlu menyediakan ruang diskusi tentang keamanan digital dan cara mengelola emosi. Guru dapat membantu anak memahami bahwa situasi dunia maya tidak selalu mencerminkan cara sehat berinteraksi. Selain itu, komunitas juga berperan dalam menyediakan kegiatan positif yang membantu anak belajar tentang kerja sama dan kepedulian. Semua ini perlu dilakukan secara konsisten karena empati adalah keterampilan yang tumbuh perlahan. Dengan kombinasi bimbingan keluarga, pendidikan, dan lingkungan sosial, kita bisa membantu remaja membangun kembali rasa empatinya. Pada akhirnya, upaya bersama ini memberi harapan bahwa kasus seperti di SMAN 72 tidak terulang dan generasi muda tumbuh dengan hati yang lebih kuat dan lebih peka.