PolluxTier – Pada 6 Agustus 1945 pukul 08.15 pagi, langit Hiroshima dihantui oleh ledakan dahsyat bom atom pertama di dunia yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat. Saat itu, Lee Jung‑soon, yang kala itu masih anak-anak, tengah berjalan menuju sekolah dasar. Ledakan tersebut membuat ayahnya kembali ke rumah sambil panik, menyuruh semua anggota keluarga mengungsi secepatnya. Ia hanya ingat terus menangis karena terkejut melihat jalanan penuh mayat. Kisahnya adalah salah satu dari ribuan tragedi kemanusiaan akibat ledakan bom yang mengubah hidup masyarakat Hiroshima selamanya.
Ledakan setara 15.000 ton TNT itu langsung memusnahkan sebagian besar kota Hiroshima, yang kala itu dihuni sekitar 420.000 jiwa. Sekitar 70.000 orang tewas seketika, dan puluhan ribu lainnya meninggal beberapa bulan kemudian karena luka bakar, radiasi, dan dehidrasi. Lee Jung‑soon menyaksikan langsung tubuh-tubuh korban yang meleleh hingga hanya menyisakan mata mereka. Banyak korban yang tidak bisa dikenali, membuat pemakaman massal menjadi satu-satunya cara menghormati mereka. Tragedi ini menjadi simbol kekejaman perang yang dampaknya dirasakan hingga kini.
“Baca Juga : Jepang Pecahkan Rekor Panas, Suhu Tembus 41,8 Derajat Celsius”
Sekitar 20% dari korban bom atom di Hiroshima adalah warga Korea, yang saat itu tinggal di sana akibat penjajahan Jepang selama 35 tahun. Mereka bekerja di pabrik-pabrik amunisi, banyak yang direkrut paksa, dan dianggap sebagai warga kelas dua. Dari 140.000 warga Korea yang ada, sebagian besar mengalami dampak langsung ledakan. Banyak yang meninggal, sementara yang selamat kembali ke Korea dengan luka fisik dan psikologis yang mendalam. Namun mereka tidak mendapatkan pengakuan atau dukungan yang layak, baik dari Jepang maupun pemerintah Korea.
Hingga kini, Lee Jung‑soon masih menderita berbagai penyakit akibat paparan radiasi: kanker kulit, Parkinson, dan angina. Putranya, Ho-chang, didiagnosis gagal ginjal dan menjalani cuci darah—yang diyakini sebagai dampak turunan dari radiasi. Para penyintas menghadapi stigma, diskriminasi, dan isolasi sosial. Banyak dari mereka mengalami kesulitan ekonomi akibat tidak bisa bekerja secara normal. Bahkan anak-anak dan cucu mereka mengalami penyakit serius, namun tak mendapat pengakuan resmi sebagai korban generasi kedua dan ketiga.
“Simak Juga : Australia Beli 11 Kapal Perang Jepang untuk memperkuat Armada Laut”
Kota kecil Hapcheon di Korea Selatan menjadi tempat tinggal puluhan ribu penyintas bom atom. Dijuluki “Hiroshima-nya Korea”, Hapcheon menjadi simbol perjuangan korban Korea untuk mendapatkan keadilan. Mereka telah lama diabaikan, bahkan dicap sebagai pembawa sial atau orang terkutuk. Pemerintah Korea baru mulai menunjukkan perhatian pada 2019 dengan riset terbatas. Namun, banyak korban sudah meninggal sebelum menerima bantuan apa pun. Mereka berharap suara mereka tidak dilupakan dan sejarah penderitaan mereka dicatat sebagai bagian dari tragedi global.