PolluxTier – Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, belakangan dijuluki sebagai sosok “kerongkongan emas”. Julukan itu muncul bukan karena suaranya, melainkan karena kemampuannya menjalin komunikasi lintas kubu politik tanpa menyinggung pihak manapun. Menurutnya, ia selalu menggunakan hati dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut diungkapkannya saat memberikan kuliah umum di Universitas Padjajaran, Jatinangor, Jawa Barat, Jumat (26/9/2025).
Pramono mengaku sejak lama dipercaya menjadi komunikator sekaligus penengah di tengah gesekan politik nasional. Ia kerap diminta menjadi mediator oleh tokoh-tokoh besar, mulai dari Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-7 RI Joko Widodo, hingga Presiden terpilih Prabowo Subianto. Menariknya, tugas ini tidak hanya dilakukan di internal PDI-P, tapi juga meluas hingga lintas partai.
“Baca Juga : 7 Perusahaan Asuransi Berpotensi Rugi Rp19 Triliun, Apa Sinyal Bahayanya?”
Dalam kepemimpinannya bersama Wakil Gubernur Rano Karno, Pramono menerapkan pola komunikasi yang sama. Ia selalu menekankan pentingnya berbagi peran dan menjaga harmoni dengan DPRD. Bahkan, dalam acara resmi, ia kerap memberi ruang bagi wakilnya untuk tampil sebagai inspektur upacara, sementara dirinya berdiri mendampingi. Baginya, kepemimpinan yang adil berarti memberi porsi seimbang bagi semua pihak.
Pramono juga menceritakan perjalanan politiknya saat maju dalam Pilkada DKI 2024. Saat itu, tingkat kepercayaan publik terhadap dirinya hanya 0,1 persen, jauh di bawah wakilnya, Rano Karno, yang sudah populer sebagai aktor. Namun, berkat kerja keras, sikap rendah hati, dan komunikasi yang tulus, ia berhasil meraih kemenangan mengalahkan Ridwan Kamil. Ia mengaku belajar banyak dari pengalaman itu, terutama bahwa keikhlasan dalam bekerja selalu membuka jalan.
“Simak Juga : Pidato Prabowo di PBB Tuai Apresiasi, Disebut Pantas Jadi Pemimpin Alternatif Dunia”
Pramono bahkan mengingat momen ketika ia sering diminta memotret warga yang ingin berfoto dengan Rano Karno saat car free day. Alih-alih merasa tersaingi, ia melakukannya dengan senang hati. Dari pengalaman itulah ia memahami bahwa dalam politik, kesungguhan dan keadilan akan selalu berbuah kepercayaan. Bagi Pramono, kepemimpinan bukan soal siapa yang lebih populer, melainkan bagaimana membangun kepercayaan publik lewat kerja nyata.
Julukan “kerongkongan emas” semakin menegaskan gaya kepemimpinan Pramono Anung. Ia bukan sekadar politisi, melainkan komunikator yang mengedepankan hati dalam setiap langkahnya. Dari ruang politik nasional hingga memimpin Jakarta, ia menunjukkan bahwa kepemimpinan yang adil dan tulus dapat menciptakan harmoni di tengah perbedaan.