PolluxTier – Sesaat setelah Presiden Prabowo kembali dari Mesir pada Selasa (14/10/2025), Menteri Pemuda dan Olahraga, Erick Thohir, langsung menghadap di Bandara Halim Perdanakusuma. Di hadapan rapat terbatas, ia menyampaikan permohonan maaf kepada Prabowo atas kegagalan Timnas Indonesia lolos Piala Dunia 2026. Momen itu menjadi simbol tanggung jawab publik saat pejabat negara mengakui kegagalan tanggungannya secara terbuka. Menurut saya, sikap itu menunjukkan etika kepemimpinan yang matang: bukan menyembunyikan kekalahan, melainkan menghadapi dan mengambil bagian dari konsekuensinya.
Mensesneg Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa Prabowo sendiri merasa “berat hati” mendengar kabar tersebut. Namun sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, ia meminta agar fokus bergeser ke kompetisi selanjutnya: Piala Asia 2027 dan Olimpiade 2028. Kata Prabowo, kegagalan ini bukan akhir, melainkan batu loncatan. Di mata saya, respons seperti ini penting: menunjukkan bahwa meski kalah, visi besar tetap harus berjalan. Itu juga bentuk kepemimpinan yang resilien.
“Baca Juga : Prabowo Hadir di KTT Gaza, Trump Puji Indonesia di Forum Perdamaian Internasional”
Kekalahan 0‑1 dari Irak di pertandingan Grup B kualifikasi menjadi titik penentu. Timnas mengendalikan sebagian besar pertandingan, namun gol Zidane Iqbal di menit ke‑75 menggagalkan harapan Indonesia. Sebelumnya, Indonesia juga kalah 2‑3 dari Arab Saudi, sehingga hingga kini belum mengoleksi poin. Gambaran ini menunjukkan, dalam sepak bola internasional, eksekusi momen kecil sering kali lebih menentukan daripada dominasi penuh. Dari sudut pandang saya, kekalahan ini adalah pelajaran penting bahwa faktor psikologis dan detail taktis harus diperkuat.
Kegagalan lolos ke Piala Dunia tentu berdampak besar pada reputasi Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) dan ekspektasi masyarakat. Banyak pihak yang mempertanyakan proyek jangka panjang timnas, manajemen teknis, dan strategi pembinaan pemain muda. Namun, kisah ini juga membawa peluang introspeksi: di mana kekurangan, bagaimana perbaikan, dan bagaimana harapan bisa dibangun kembali. Bagi saya, momen seperti ini memisahkan klub atau negara biasa dari yang akan bangkit lebih baik.
“Simak Juga : Liverpool Siap Gaet Nico Schlotterbeck karena Krisis di Lini Belakang”
Prabowo menggariskan target berikutnya: menyiapkan tim untuk Piala Asia 2027 dan Olimpiade 2028. Meski rasa kecewa masih terasa, arah ini menunjukkan bahwa kegagalan harus segera dibalik menjadi rencana aksi. Indonesia perlu membangun fondasi yang lebih kuat untuk target kompetisi kontinental dan global. Saya percaya bahwa strategi jangka panjang dan komitmen struktural kini menjadi prioritas utama agar Timnas tidak hanya jadi penonton di Piala Dunia.
Bagi saya pribadi, permintaan maaf Erick Thohir dan respons Prabowo menunjukkan kedalaman tanggung jawab dalam olahraga nasional. Kegagalan dalam lapangan bukan akhir cerita melainkan kesempatan memperbaiki sistem pembinaan, manajemen teknis, dan kesiapan mental para pemain. Harapan besar masyarakat terhadap Timnas memang menyesakkan, namun yang terpenting adalah bagaimana seluruh elemen sepak bola Indonesia bersatu membangun masa depan yang lebih baik dengan langkah nyata, bukan sekadar kata maaf.