PolluxTier – Flexing kaum pebisnis semakin marak terlihat di media sosial. Fenomena ini merujuk pada perilaku pamer kemewahan, seperti memamerkan mobil mewah, jam tangan mahal, atau liburan eksklusif, yang sering kali diasosiasikan dengan keberhasilan dalam dunia usaha. Namun, apakah perilaku ini benar mencerminkan prestasi atau hanya sekadar gengsi?
Flexing kaum pebisnis sering kali terjadi di platform media sosial seperti Instagram atau TikTok. Di sana, mereka memamerkan gaya hidup mewah yang diklaim sebagai hasil dari kesuksesan bisnis. Namun, tidak jarang flexing ini memunculkan pertanyaan tentang keaslian kesuksesan tersebut. Beberapa pebisnis bahkan dituduh menyewa barang mewah untuk memperkuat citra mereka di mata publik.
Media sosial menjadi alat pemasaran sekaligus panggung personal branding. Sayangnya, dalam banyak kasus, strategi flexing ini lebih menonjolkan pencitraan dibandingkan kualitas bisnis itu sendiri. Akibatnya, publik lebih terfokus pada gaya hidup mewah sang pebisnis daripada produk atau jasa yang mereka tawarkan.
“Baca juga: Kenali Metode Trading Scalper: Strategi Cepat dalam Dunia Trading”
Bagi sebagian pebisnis, flexing dianggap sebagai cara efektif untuk menarik perhatian dan membangun reputasi. Konsumen sering kali mengaitkan kesuksesan pribadi dengan kualitas bisnis yang dijalankan. Hal ini menciptakan persepsi bahwa seorang pebisnis yang mampu menunjukkan kemewahan memiliki bisnis yang sukses dan terpercaya.
Namun, flexing juga memiliki dampak negatif. Ketika gaya hidup mewah dianggap lebih penting daripada prestasi bisnis, kepercayaan konsumen bisa menurun. Apalagi jika terbukti bahwa kemewahan tersebut tidak berasal dari hasil usaha yang sebenarnya. Flexing berlebihan justru dapat merusak kredibilitas dan reputasi yang telah dibangun.
Di tengah maraknya flexing, muncul pertanyaan penting: apakah perilaku ini lebih banyak didorong oleh gengsi atau memang mencerminkan prestasi nyata? Pada kenyataannya, banyak pengusaha yang benar-benar sukses memilih untuk hidup sederhana tanpa merasa perlu memamerkan kekayaan mereka.
Sebaliknya, beberapa pebisnis yang gemar flexing justru terjebak dalam “perlombaan” pencitraan yang menguras sumber daya. Alih-alih fokus mengembangkan bisnis, mereka lebih sibuk membangun citra sebagai “sukses” di media sosial. Padahal, prestasi nyata dalam bisnis seharusnya diukur dari keberlanjutan usaha, kepuasan pelanggan, dan dampak positif yang dihasilkan.
“Simak juga: Pakai Teknik Ini, Dagangan Laris Manis Saat Live Streaming di TikTok dan Shopee!”
Daripada sekadar flexing, ada banyak cara lain yang lebih bermakna untuk membangun personal branding. Misalnya, berbagi cerita tentang perjalanan bisnis, tantangan yang dihadapi, dan pencapaian yang telah diraih. Hal ini tidak hanya memberikan inspirasi kepada orang lain, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai yang dipegang oleh sang pebisnis.
Pebisnis juga bisa menggunakan platform media sosial untuk memberikan edukasi kepada calon pelanggan, berbagi tips, atau menunjukkan inovasi yang mereka bawa ke pasar. Pendekatan ini jauh lebih autentik dan berkelanjutan dibandingkan sekadar pamer kemewahan.