PolluxTier – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengungkap rasa herannya saat mengetahui Tunjangan Reses anggota DPR melonjak drastis. Menurut Lucius, kenaikan itu menjelaskan sikap tidak protes para legislator ketika tunjangan perumahan mereka dipotong Rp 50 juta. Kini, dengan dana reses senilai Rp 702 juta, ia menilai potongan tersebut menjadi terasa ringan. Bagi saya, pernyataan itu menyentil satu hal penting: bahwa transparansi penggunaan anggaran legislatif mungkin selama ini memang minim pengawasan publik.
Kenaikan dana reses hampir 100 % ini menurut Lucius datang tanpa pemberitahuan publik. Angka yang sebelumnya sekitar Rp 400 juta kini meningkat secara drastis. Ia menyebut hal itu sebagai “petir di siang bolong”—sesuatu yang mengejutkan dan sulit diterima masyarakat luas. Dalam pandangan saya, lonjakan sebesar itu mesti dijelaskan secara terbuka, agar publik bisa memahami komponen apa saja yang mendasari kenaikan ekstrem tersebut.
“Baca Juga : Penurunan Tajam Bursa AS Usai Pengumuman Tarif Trump”
Lucius menjelaskan bahwa pada masa potongan tunjangan perumahan terjadi, banyak pihak tidak protes karena perhatian tertuju kepada isu rumah tersebut. Namun, dengan besarnya dana reses baru, kritik terhadap potongan itu menjadi teredam. Dengan kata lain: ketika kompensasi lainnya meningkat signifikan, tekanan terhadap satu jenis tunjangan menjadi tak terlalu terasa. Ini menunjukkan bahwa strategi anggaran legislatif bisa disesuaikan agar kritik publik tereduksi, tanpa memerlukan pemberitahuan yang jelas.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa kenaikan dana reses di periode 2024–2029 menjadi Rp 702 juta terjadi karena ada penambahan komponen kegiatan, seperti peningkatan jumlah kunjungan anggota ke daerah pemilihan dan perluasan dapil. Menurutnya, indeks kegiatan juga dinaikkan. Dasco bilang, sejak Mei 2025 dana reses baru diberlakukan. Ini menyiratkan bahwa kenaikan tersebut bukan keputusan mendadak, melainkan terstruktur dalam RAB legislatif. Namun, apakah masyarakat cukup waktu atau ruang untuk menyimak perubahan ini?
Reses seharusnya jadi momen legislator turun ke dapil untuk menyerap aspirasi rakyat. Namun ketika dana reses sangat tinggi, publik berhak bertanya: sejauh mana dana itu digunakan efektif, dan tidak sekadar sebagai anggaran belaka? Dalam pengalaman saya mengikuti kunjungan anggota dewan di daerah, efektivitas reses sangat bergantung pada komunikasi transparan dan laporan penggunaan dana ke warga setempat.
“Simak Juga : Aktor Ammar Zoni Kembali Tersandung Kasus Narkoba”
Di banyak negara maju, tunjangan parlemen tetap dijaga wajar dan transparan. Di negara berkembang, kenaikan kompensasi legislatif sering kali memicu protes publik. Contoh di negara tetangga, kenaikan tunjangan harus disertai dengan audit terbuka dan pelaporan langsung ke publik. Indonesia seharusnya belajar dari praktik-praktik tersebut agar kenaikan anggaran tidak dianggap sebagai bentuk pemborosan atau privilese elit.
Akhirnya, kenaikan tunjangan reses ini harus dijadikan titik tolak perubahan. DPR perlu membangun sistem transparansi anggaran reses: publikasi rincian, laporan pertanggungjawaban ke konstituen, dan evaluasi independen. Jika langkah itu dilakukan, kritik dan scepticism publik bisa sedikit mereda, dan kepercayaan bisa sedikit diperbaiki. Karena kalau rakyat tidak memahami, maka demokrasi tidak berjalan dengan sehat.