PolluxTier – Blackberry pernah menjadi simbol status dan kemewahan di dunia teknologi mobile. Di awal 2000-an, perangkat ini sangat dominan. Khususnya di kalangan profesional, pebisnis, dan politisi. Keyboard fisiknya ikonik. Fitur email real-time dan BBM menjadi andalan. Namun, kesuksesan itu tidak bertahan lama. Akhirnya jatuh dari puncak kejayaannya. Sebuah cerita klasik tentang inovasi yang gagal beradaptasi.
Blackberry pertama kali diluncurkan oleh perusahaan Kanada, Research In Motion (RIM), pada akhir 1990-an. Perangkat ini awalnya difokuskan untuk komunikasi email. Ia menggunakan jaringan data eksklusif. Inilah yang membuatnya cepat diadopsi oleh pelaku bisnis. Di masa itu, fitur push email sangat revolusioner. Blackberry pun mendapat tempat khusus di dunia korporasi. Hingga tahun 2009, ia mendominasi pasar smartphone global.
“Baca Juga : Bau Kentut Tidak Sama? Ini Penjelasan Ilmiahnya”
Blackberry tidak hanya sukses dalam teknologi. Tapi juga berhasil membangun citra elit. Pengguna dikenal sebagai kalangan profesional. Bahkan banyak pemimpin dunia yang menggunakannya. Barack Obama adalah salah satu tokoh yang terkenal tidak bisa lepas dari Blackberry. Di Indonesia sendiri, menjadi tren di kalangan anak muda dan eksekutif. BBM jadi alat komunikasi utama kala itu.
Masalah mulai muncul saat Apple meluncurkan iPhone pada 2007. iPhone memperkenalkan layar sentuh penuh yang inovatif. Sementara tetap bertahan dengan keyboard fisik. Mereka menilai layar sentuh hanya tren sesaat. Kesalahan prediksi ini membuat mereka tertinggal. Selain itu, Blackberry tidak membuka sistem operasinya untuk pengembang aplikasi. Akibatnya, jumlah aplikasi sangat terbatas. Pengguna mulai beralih ke Android dan iOS.
Ketika Android mulai merajalela dan Apple terus berinovasi, Blackberry tampak jalan di tempat. Mereka meluncurkan 10, tapi sudah terlalu terlambat. Konsumen sudah berpindah ke ekosistem lain. Pangsa pasar turun drastis dari tahun ke tahun. Pada 2016, perusahaan akhirnya mengumumkan berhenti memproduksi ponsel. Fokusnya beralih ke perangkat lunak dan keamanan digital. Era kejayaan resmi berakhir.
Salah satu warisan terbesar adalah BBM. Aplikasi ini memperkenalkan konsep PIN sebagai identitas pengguna. Ia memungkinkan chatting eksklusif tanpa nomor telepon. Di masa jayanya, BBM adalah alat komunikasi paling populer. Namun ketika WhatsApp dan Line masuk pasar, BBM kalah cepat beradaptasi. Pengguna menuntut fleksibilitas, fitur emoji, dan multimedia. BBM akhirnya ditutup secara resmi pada tahun 2019.
Sadar tidak mampu bersaing lewat sistem operasinya sendiri, Blackberry mencoba beralih ke Android. Mereka meluncurkan beberapa model baru seperti Blackberry Priv dan KeyOne. Namun, hasilnya tidak menggembirakan. Konsumen sudah kehilangan minat. Desain klasik tidak lagi relevan. Meskipun mengusung keamanan sebagai nilai jual utama, pasar tetap lebih memilih brand lain yang lebih inovatif.
Setelah keluar dari industri perangkat keras, Blackberry mengubah haluan. Mereka kini fokus pada perangkat lunak keamanan dan solusi IoT. Blackberry QNX menjadi andalan di sektor otomotif. Teknologi ini digunakan dalam sistem infotainment dan kendaraan otonom. Mereka juga bekerja sama dengan perusahaan militer dan industri berat. Meskipun tidak sepopuler dulu, Blackberry tetap bertahan sebagai perusahaan teknologi.
Meski telah runtuh sebagai produsen smartphone, Blackberry tetap dikenang. Ia mengajarkan pentingnya inovasi dan adaptasi. Kesalahan membaca arah pasar bisa sangat fatal. Namun keberhasilan di masa lalu juga tak bisa diabaikan. Blackberry menjadi simbol era tertentu dalam evolusi teknologi mobile. Namanya mungkin tak lagi mendominasi, tapi warisannya tetap abadi dalam sejarah.