PolluxTier – Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, membuka fakta mengejutkan yang memicu kenaikan restitusi pajak pada 2025. Di tengah upaya pemerintah menjaga stabilitas fiskal, Bimo menemukan praktik “Penunggang gelap” yang memanfaatkan celah restitusi pendahuluan. Ia menjelaskan bahwa sebagian dari pengajuan tersebut berasal dari perusahaan berbasis virtual office yang profilnya tidak sejalan dengan aktivitas bisnis sebenarnya. Modusnya sederhana namun berbahaya: transaksi fiktif yang diklaim sebagai kegiatan usaha sah. Dalam penelusurannya, DJP mendapati sejumlah perusahaan memasukkan tagihan restitusi tanpa ada proses bisnis nyata di baliknya. Bimo menegaskan bahwa temuan ini harus ditindak tegas agar hak wajib pajak patuh tetap terlindungi. Pemerintah pun mempercepat investigasi untuk menutup ruang bagi pihak yang ingin merugikan negara dengan memanipulasi ketentuan restitusi pajak.
Modus Virtual Office dan Investigasi yang Diperketat
Praktik penunggang gelap ini terbongkar ketika DJP menelusuri lebih dalam pengajuan restitusi pendahuluan melalui berbagai kanal pengawasan. Sejumlah perusahaan terlihat aktif mengajukan pengembalian pajak namun tidak menunjukkan jejak transaksi yang membuktikan kegiatan operasional nyata. Bahkan beberapa perusahaan beroperasi melalui alamat virtual office yang tidak menampung aktivitas usaha sama sekali. Hal inilah yang membuat DJP curiga dan memperluas investigasi. Bimo menuturkan bahwa pengajuan tersebut tidak mencerminkan kegiatan usaha yang wajar, sehingga wajib ditindaklanjuti. Pemeriksaan diperluas untuk memastikan bahwa restitusi hanya mengalir kepada pihak yang benar-benar memenuhi syarat. DJP tidak ingin kebijakan ini disalahgunakan oleh pihak oportunis yang memanfaatkan ketidaksinkronan data dan lemahnya pengawasan administrasi.
“Baca Juga : Mencegah Deindustrialisasi: Mengapa Kualitas SDM Menjadi Penentu Masa Depan Indonesia”
Peran Gejolak Harga Komoditas dalam Meningkatkan Restitusi
Di balik praktik manipulatif itu, faktor lain yang tak kalah besar adalah gejolak harga komoditas, terutama batu bara. Bimo menjelaskan bahwa tahun-tahun sebelumnya, harga batu bara berada di kisaran tinggi lebih dari 150 dolar AS per ton. Namun kini nilai tersebut merosot setengahnya, memicu kondisi kelebihan bayar pada banyak wajib pajak sektor pertambangan. Situasi ini membuat perusahaan mengajukan klaim restitusi secara bersamaan pada tahun berikutnya. Bimo menggambarkan fenomena ini sebagai “panen restitusi”, sebuah kondisi alamiah ketika siklus harga komoditas berubah drastis. Penurunan tersebut menciptakan tekanan baru, khususnya pada kas negara, karena pemerintah wajib mengembalikan pajak yang dibayar lebih tinggi di masa lalu. Kondisi pasar komoditas pun menjadi variabel penting yang tak bisa diabaikan DJP dalam memproyeksikan penerimaan.
Pengaruh Kebijakan Pajak Baru terhadap Kenaikan Pengembalian
Tidak hanya faktor pasar, perubahan regulasi juga menjadi penyumbang signifikan terhadap kenaikan restitusi pajak. Setelah batu bara diklasifikasikan sebagai barang kena pajak berdasarkan UU HPP dan UU Cipta Kerja, banyak perusahaan memperoleh hak untuk mengkreditkan pajak yang sebelumnya mereka bayar. Kebijakan baru ini bertujuan menciptakan ekosistem perpajakan lebih transparan dan terstruktur, namun efek sampingnya adalah lonjakan permintaan restitusi di sektor-sektor tertentu. Bimo menjelaskan bahwa perubahan aturan ini perlu diseimbangkan dengan audit selektif untuk memastikan keakuratan struktur biaya perusahaan. Melalui sampling audit, DJP mendalami komponen cost terbesar yang menyebabkan kelebihan bayar yang cukup besar. Pendekatan ini diharapkan menekan risiko manipulasi tanpa menghalangi wajib pajak patuh mendapatkan haknya.
Tantangan DJP dalam Menjaga Integritas Kebijakan Restitusi
Meski restitusi pendahuluan membawa manfaat besar bagi likuiditas dunia usaha, DJP tetap menghadapi tantangan berat untuk menjaga integritas kebijakan tersebut. Sejak pandemi COVID-19, fasilitas ini berfungsi sebagai penopang cashflow banyak perusahaan agar roda ekonomi tetap bergerak. Namun keberadaan penunggang gelap berpotensi mencoreng niat baik pemerintah. Bimo menegaskan bahwa DJP sedang memperketat analisis data, memanfaatkan teknologi digital, dan memperluas pengawasan agar celah kecurangan dapat ditutup. Di tengah upaya tersebut, DJP tetap mempertahankan restitusi pendahuluan demi menjaga kepercayaan dunia usaha. Prinsip utamanya sederhana: mereka yang patuh tidak boleh dirugikan oleh pelaku manipulasi. Konsistensi ini menjadi fondasi DJP menjalankan tugas sebagai penjaga penerimaan negara.
“Simak Juga : OJK Tetapkan Batas Lima Tahun untuk Rekening Dormant”
Dinamika Penerimaan Pajak dan Tekanan Fiskal Tahun 2025
Penemuan ‘penunggang gelap’ restitusi terjadi di saat penerimaan pajak menunjukkan tren menurun. Dalam periode Januari–Oktober 2025, realisasi penerimaan neto tercatat Rp 1.459,03 triliun atau turun 3,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini memperbesar tekanan fiskal sekaligus menambah beban ketika restitusi meningkat tajam menjadi Rp 340,52 triliun. Padahal pada periode sama tahun sebelumnya, restitusi hanya mencapai Rp 249,59 triliun. Lonjakan hampir 100 triliun ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk meninjau kembali ekosistem pengawasan pajak. Di sisi lain, Bimo menilai fluktuasi ini adalah bagian dari dinamika ekonomi dan tata kelola pajak yang terus berkembang. Fokus utama DJP kini adalah memastikan mekanisme restitusi berjalan proporsional dan akuntabel tanpa menghambat pertumbuhan usaha.
Menjaga Keseimbangan antara Kepatuhan dan Kepercayaan Wajib Pajak
Di balik berbagai temuan dan tantangan itu, DJP berupaya menjaga keseimbangan antara penegakan aturan dan pemeliharaan kepercayaan wajib pajak. Restitusi yang dikelola dengan tepat dapat menjadi instrumen kuat untuk mempercepat perputaran dana di masyarakat. Namun jika tidak diawasi ketat, celah kecurangan dapat menggerus penerimaan negara. Bimo menegaskan bahwa DJP mengambil pendekatan humanis namun tegas melindungi wajib pajak patuh sambil mengusut manipulasi. Pendekatan ini menjadi fondasi untuk membangun ekosistem perpajakan yang sehat, transparan, dan adil bagi semua. Pemerintah berharap langkah-langkah ini dapat menjadi pondasi bagi peningkatan kualitas pengawasan pajak ke depannya, sekaligus menjawab kebutuhan dunia usaha untuk tetap bergerak dalam iklim yang penuh kepastian.